Curug Tenjong, Potensi Wisata di Ciharashas

Sejumlah santri Ponpes Al Mutakin menjajal terjalnya Curug Tenjong. Foto/MIM

Desa Ciharashas memiliki panorama  yang indah. Di beberapa sisi, hamparan sawah berada di tanah bersengked yang tertata dengan rapi secara alami. Sejumlah tamu dari kota, saat Lebaran atau liburan akhir tahun seringkali mengabadikan suasana indahnya pagi atau saat sore di pesawahan yang ada di sudut-sudut desa.

Tidak hanya pesawahan, Desa Ciharashas memiliki  potensi wisata alam berupa curug. Air terjun yang berketinggian kurang lebi 70 meter ini dinamai Curug Tenjong. Sebagian warga adapula yang melafalkannya dengan sebutan Curug Enjong.

Beberapa waktu lalu, ditemani Kades Ciharashas, Japar Sidik, ST, MIP, Pimpinan Ponpes Al Mutaqin, Iman Saepulloh, Sekdes Ciharashas Kurnia, tokoh desa, Kang Ajid dan sejumlah santri Ponpes Almutakin, saya bertandang ke curug tersebut.

Untuk menuju ke Curug Tenjong ada dua jalan setapak yang bisa ditempuh. Pertama dari sisi utara, jalan ditempuh dari ponpes menuju pesawahan. Setelah sampai di pesawahan, tekuk ke kiri untuk menuju  ke selatan. Jalannya cukup terjal, kemiringan lereng sekira 70 derajat sehingga jalan setapak yang dibangun disesuaikan dengan kontur lereng, tidak banyak  yang dibuat vertikal.

Meski jalan setapak horizontal melawan kecuraman lereng, namun jalan tersebut tidak lebar sehingga mata perlu waspada pada pijakan kaki. Ini terbukti saat perjalanan pulang saya sempat salah pijakan dan nyaris terperosok ke jurang, namun beruntung masih ada pepohonan kuat yang bisa dijadikan tumpuan tangan saat tergelincir sehingga bisa menyelamatkan diri.

Jalur ke dua yakni jalan dari sisi selatan aliran sungai menuju ke Curug Tenjong. Jalur ini ditempuh dari ujung jalan lama menuju Ke Bendungan Cirata. Jalan yang dulunya beraspal ini, sekarang menjadi kebun dan pesawahan. 300 meter pertama trek masih lurus, hanya saja kita harus melalui jalan setapak dan tegalan sawah. Setelahnya, jalan mulai turun, melewati lereng yang sama curamnya dengan jalur selatan.

Karena jalan yang relatif ekstrem itulah, saya tidak berani sambil mendokumentasikan perjalanan. Baik Kamera DSLR maupun ponsel saya simpan agar fokus pada pijakan dan juga siap siaga mengawasi teman di depan agar tetap berjalan pada jalurnya.

Setelah menyeberang sungai, kira-kira 300 meter sebelum tiba di Curug Tenjong, kita akan bertemu dengan persimpangan jalan. Persimpangan jalan ini mempertemukan jalur dari selatan dan utara.

Setelahnya, jalan masih dalam keadaan menurun. 50 meter sisanya bahkan jalan setapak lebih ekstrem. Dinding jurang di sisi utara tempat kita berjalan merupakan batuan keras, umumnya basah karena rembesan mata air yang muncul dari batuan yang bercampur tanah, sehingga jalan yang sebagian landasannya adalah batu menjadi basah dan sebagian lagi becek.

Untuk melihat jelas Curug Tenjong, kita harus menuruni lereng rendah sekitar 10 meter. Hanya saja jalan untuk turun cukup sulit, bila terpeleset, taruhannya adalah kamera jatuh. Saya memilih berdiri di  8 meter terakhir. Meski harus mencari titik yang pas, sejumlah dokumentasi masih bisa dibuat di sini.

Curug Tenjong diapit dua lereng searah aliran sungai. Lereng ini ditumbuhi pepohonan keras, cukup rindang. Tidak ada tempat yang terlalu landai berumput untuk sekedar duduk-duduk memandang air terjun.

Sejauh ini, belum ada pengunjung luar desa yang datang ke sini. Warga setempat pun, ke sini hanya untuk mencari rumput liar untuk ternak.  Kalaupun ada yang sengaja berekreasi, tidak setiap minggu ada orang yang sengaja berkunjung. Itulah sebabnya, sepanjang perjalanan, terutama di persimpangan setapak yang digambarkan di muka sampai di lokasi, penuh dengan rumput liar.

Namun, inilah keasyikannya. Jalan menantang,  jurang dalam, suasana agak gelap karena rerimbunan pohon besar menambah keseruan perjalanan menuju Curug Tenjong, yang tingginya sekira 50 sampai 70 meter ini. 

Para santri yang mengantar kami nampak girang setibanya di curug, apalagi jalan yang kami lalui cukup berat. Kegembiraan mereka tersirat dari senyuman saat berfoto bersama. Mereka naik ke atas curug beramai-ramai sampai di posisi tengah, berpose di sana. Dua santri malah berhasil ke puncak Curug Tenjong. Tidak kalah dengan para santri, Kades Ciharashas mulai beraksi. Ia turut pula naik sampai di tengah-tengah curug. Sejurus kemudian ia terlihat sudah merayapi batuan yang licin.

Guyuran air terjun yang cukup deras tidak mematahkan semangatnya untuk berdiri lebih dekat dengan Curug Tenjong. Semua yang menyaksikan adegan tersebut cukup kaget. Setelah berjuang melawan kepungan air deras yang seolah menghadangnya untuk naik ke atas, Kades Japar sidik sudah berada di puncak air terjun bersama Kang Ajid. Sambutan riuh pun kemudian pecah diantara suara batu yang tertimpa aliran air terjun.

Kami pulang dengan gembira, karena perjalanan pergi dan pulang berhasil kami lewati.

Ciharashas, Boga Has, Boga Rasa, Boga Carita

Menu